Jumat, 18 Mei 2012

Saat-saat Terakhir Rasulullah SAW

Detik-detik Wafatnya Rasulullah SAW

Ketika ajal Rasulullah SAW semakin dekat, beliau memanggil para sahabat ke rumah Aisyah RA. Beliau berkata: “Selamat datang kalian semua, semoga Allah SWT mengasihi kalian semua. Aku berwasiat kepada kalian semua agar bertaqwa kepada Allah SWT dan menaati segala perintah-Nya. Sesungguhnya hari perpisahan antara aku dengan kalian semua hampir dekat, dan dekat pula saat kembalinya seorang hamba kepada Allah SWT dan menempatkannya di syurga. Jika ajalku telah sampai maka hendaklah Ali yang memandikanku, Fadl bin Abbas hendaklah menuangkan air dan Usamah bin Zaid hendaklah membantu keduanya. Setelah itu, kafanilah aku dengan pakaianku sendiri jika kalian semua menghendaki, atau kafanilah aku dengan kain Yaman yang putih. Setelah kalian memandikan aku, maka letakkan aku di atas balai tempat tidurku dalam rumahku ini. Setelah itu keluarlah kalian semua sebentar meninggalkan aku. Pertama yang akan menshalatkan aku ialah Allah SWT, kemudian yang akan menshalati aku ialah Jibril AS, kemudian diikuti oleh malaikat Israfil, malaikat Mikail, dan yang terakhir sekali adalah malaikat lzrail berserta dengan semua para pembantunya. Setelah itu baru kalian semua masuk bergantian secara berkelompok untuk menshalati aku.”

Setelah mendengar ucapan yang sungguh menyayat hati itu para sahabat menangis dengan nada yang keras dan berkata: “Ya Rasulullah SAW, engkau adalah seorang Rasul yang diutus kepada kami dan untuk semua. Selama ini engkaulah yang memberi kekuatan dalam penemuan kami dan engkaulah penguasa yang mengurus perkara kami. Apabila engkau tiada nanti, kepada siapakah kami akan bertanya setiap persoalan yang timbul nanti?.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Dengarlah para sahabatku, aku tinggalkan kepada kalian semua jalan yang benar dan jalan yang terang. Dan telah aku tinggalkan kepada kalian semua dua penasihat yang satu dari padanya pandai bicara dan yang satu lagi diam saja. Yang pandai bicara itu ialah al-Quran dan yang diam itu ialah maut. Apabila ada sesuatu persoalan yang rumit di antara kalian, maka hendaklah kalian semua kembali kepada al-Quran dan Hadis-ku dan sekiranya hati kamu itu berkeras maka lembutkan dia dengan mengambil pelajaran dari mati.”

Tak lama setelah kejadian itu, Rasulullah SAW mengalami sakit. Dalam bulan Shafar Rasulullah SAW sakit selama 18 hari dan sering diziarahi oleh para sahabat. Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa Rasulullah SAW diutus pada hari Senin dan wafat pada hari Senin. Pada hari Senin penyakit Rasulullah SAW bertambah berat. Setelah Bilal RA menyelesaikan azan subuh, maka Bilal segera pergi ke rumah Rasulullah SAW. Sampai di rumah Rasulullah ia pun memberi salam: “Assalamu’alaika ya Rasulullah.” Lalu dijawab oleh Fathimah RA: “Rasulullah SAW masih sibuk dengan urusan beliau.” Mendengar penjelasan dari Fathimah RA, Bilal pun kembali ke masjid tanpa memahami kata-kata Fathimah itu. Ketika waktu subuh hampir habis, Bilal pergi sekali lagi ke rumah Rasulullah SAW dan memberi salam seperti tadi. Kali ini salamnya didengar oleh Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW berkata: “Masuklah wahai Bilal, sesungguhnya penyakitku ini semakin berat, oleh karena itu suruhlah Abu Bakar untuk mengimami shalat subuh berjamaah dengan mereka yang hadir.” Mendengar kata-kata Rasulullah SAW, Bilal pun segera berjalan menuju ke masjid sambil meletakkan tangan di atas kepalanya sambil berkata: “Aduh musibah.”

Sesampainya di masjid, Bilal memberitahu Abu Bakar tentang apa yang telah dikatakan Rasulullah SAW kepadanya. Abu Bakar tidak dapat menahan dirinya. Ketika melihat mimbar kosong maka dengan suara yang keras Abu Bakar menangis sehingga ia jatuh pingsan. Melihat peristiwa itu, para shahabatpun menangis, sehingga Rasulullah SAW mengetahui hal itu dan bertanya kepada Fathimah: “Wahai Fathimah apa yang telah terjadi?.” Sayidah Fathimah berkata: “Kegundahan kaum muslimin, karena engkau tidak pergi ke masjid.” Kemudian Rasulullah SAW memanggil shahabat Ali RA dan Fadhl bin Abas RA, lalu Rasulullah SAW bersandar kepada keduanya, kemudian pergi ke masjid. Setelah sampai di masjid, Rasulullah pun melakukan shalat subuh bersama dengan para shahabat.

Setelah selesai shalat subuh, Rasulullah SAW bekhuthbah di hadapan para shahabat: “Wahai kaum muslimin, kalian semua senantiasa dalam pertolongan dan pemeliharaan Allah SWT, oleh karena itu hendaklah kalian semua bertaqwa kepada Allah SWT dan mengerjakan segala perintah-Nya. Sesungguhnya aku akan meninggalkan dunia ini dan kalian semua. Dan hari ini adalah hari pertama aku di akhirat dan hari terakhir aku di dunia.” Setelah berkata demikian, maka Rasulullah SAW pulang ke rumah beliau. Kemudian Allah SWT mewahyukan kepada malaikat lzrail AS: “Wahai lzrail, pergilah kamu kepada kekasihku dengan sebaik-baik rupa, dan apabila kamu hendak mencabut ruhnya maka hendaklah kamu lakukan dengan cara yang paling halus dan lembut. Ketika kamu pergi ke rumahnya maka minta izinlah terlebih dahulu, kalau ia mengizinkan, maka masuklah kamu ke rumahnya dan kalau ia tidak mengizinkan kamu masuk maka hendaklah kamu kembali padaku.”

Setelah malaikat lzrail mendapat perintah dari Allah SWT, maka malaikat lzrail turun dengan menyerupai orang Arab Baduwi. Setelah sampai di depan rumah Rasulullah SAW, ia pun memberi salam: “Assalaamu alaikum yaa ahla baitin nubuwwah wa ma’danir risaalah, a adkhulu?” (Mudah-mudahan keselamatan tetap untuk kalian semua, wahai penghuni rumah nabi dan sumber risalah, bolehkan saya masuk?) Sayidah Fathimah yang mendengar salam tersebut berkata: “Wahai hamba Allah, Rasulullah SAW sedang sibuk karena sakitnya yang semakin berat.” Kemudian malaikat lzrail mengulangi salamnya lagi, dan kali ini didengar oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya kepada Fathimah: “Wahai Fathimah, siapakah di depan pintu itu.” Maka Fathimah berkata: “Ya Rasulullah, ada seorang Arab Baduwi memanggilmu, dan aku telah katakan kepadanya bahwa engkau sedang sibuk karena sakit, sebaliknya dia memandangku dengan tajam sehingga badan ini terasa menggigil.” Rasulullah SAW berkata: “Wahai Fathimah, tahukah kamu siapakah orang itu?.” Jawab Fathimah: “Tidak ayah.” “Dia adalah malaikat lzrail, malaikat yang akan memutuskan segala macam nafsu syahwat yang memisahkan perkumpulan-perkumpulan dan yang memusnahkan semua rumah serta meramaikan kubur.” Mendengar perkataan Nabi seperti itu, Sayidah Fathimah tidak dapat menahan air matanya lagi setelah mengetahui bahwa saat perpisahan dengan ayahandanya akan berakhir, dia menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan Fathimah, Nabipun berkata: “Janganlah engkau menangis wahai Fathimah, engkaulah orang yang pertama dalam keluargaku yang akan bertemu dengan aku.” Selanjutnya Rasulullah SAW mengizinkan malaikat lzrail masuk. Malaikat lzrail masuk dengan mengucapkan: “Assalamuaalaikum ya Rasulallah.” Lalu Rasulullah SAW menjawab: “Wa alaikassalam, wahai lzrail engkau datang menziarahi aku atau untuk mencabut ruhku?” Maka berkata malaikat lzrail: “Kedatangan saya adalah untuk menziarahimu dan untuk mencabut ruhmu, itupun kalau engkau mengizinkan, kalau engkau tidak mengizinkan maka aku akan kembali.” Rasulullah SAW bersabda: “Wahai lzrail, dimanakah kamu tinggalkan Jibril?” Berkata lzrail: “Saya tinggalkan Jibril di langit dunia, para malaikat sedang memuliakannya.” Tak lama kemudian akhirnya Jibril AS turun dan duduk di dekat kepala Rasulullah SAW.

Melihat kedatangan Jibril AS, Rasulullah pun berkata: “Wahai Jibril, tahukah kamu bahwa ajalku sudah dekat?” Malaikat Jibril menjawab: “Ya, aku tahu.” Rasulullah SAW bertanya lagi: “Wahai Jibril, beritahu kepadaku kemuliaan yang menggembirakan aku disisi Allah SWT.” Malaikat Jibril berkata: “Sesungguhnya semua pintu langit telah dibuka, para malaikat berbaris rapi menanti ruhmu di langit. Kesemua pintu-pintu syurga telah dibuka, dan kesemua bidadari sudah berhias menanti kehadiran ruhmu.” Rasulullah SAW bersabda: “Alhamdulillah, sekarang katakanlah pula tentang umatku di hari kiamat nanti.” Maka Malaikat Jibril berkata: “Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya aku telah melarang semua para nabi masuk ke dalam syurga sebelum engkau masuk terlebih dahulu, dan aku juga melarang semua umat memasuki syurga sebelum umatmu memasuki syurga.”
Wallahu A’lam…

Kamis, 17 Mei 2012

Apa Itu Bid'ah?

Definisi dan Pengertian BID'AH menurut para Ulama'

Apa itu bid'ah?apa sih definisi atau pengertian Bid'ah itu?pertanyaan ini lah yang sering muncul di kalangan umum, khususnya orang-orang yang mau memperdebatkan masalah bid'ah, terutama di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah.Bid’ah secara umum bermakna mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Inilah yang dikenal sebagai makna bid’ah secara bahasa, yang ditulis diberbagai media/ web saat ini. Kemudian ada pula makna bid’ah yang lain, yaitu bid’ah secara istilah. Makna Bid’ah secara istilah disandarkan pada definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, yaitu bahwa makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam agama yang menandingi syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah. Selanjutnya Imam Syatibi memakai istilah bid’ah dengan makna ini. Hanya makna ini, bukan makna secara bahasa. Dan inilah bid’ah yang sesat, sebagaimana hadits Rasulullah saw tentang bid’ah yang terkenal.

Bid'ah yang sudah pasti terlarang adalah bid’ah secara istilah, yaitu bid’ah dalam kacamata syariat, yang oleh Imam Syatibi dikatakan sebagai bid’ah saja (bukan bid’ah syayi’ah, dlalalah, dsb. Hanya BID’AH). Dan ini pula maksud hadits Rasulullah saw tentang bid’ah yang sesat. Ketika bid’ah diklasifikasi menjadi dua bagian besar, yaitu bid’ah terpuji dan tercela, maka Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki menjelaskan bahwa pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk (BOLEH dan TERLARANG) itu hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa (dari kitab mafahim …). Dan semua telah sepakat bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ (bid’ah secara istilah) tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela.

Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini memandang kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul.

Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki menjelaskan, secara umum bid’ah terbagi menjadi dua kategori besar; terlarang dan boleh. Ini selaras dengan kategori menurut Imam Syafi’i yang membagi ‘perkara baru’ (al-bid‘ah) dan ‘perkara baru yang diadakan’ (al-muhdathât) sebagai ‘baik’ atau ‘buruk bergantung kepada apakah perkara itu selaras dengan Syari‘at atau tidak. Imam al-Syâfi’i Rohimahullah berkata bahwa bid‘ah itu dua jenis, yaitu bid‘ah yang dipuji (bid‘ah mahmûdah) dan bid‘ah yang dikeji (bid‘ah mazmûmah). Apa yang selaras dengan Sunnah itu dipuji (mahmûdah) dan apa yang bertentangan itu dikeji (mazmûmah). Beliau mengakomodasi dalil dari kenyataan Sayidina ‘Umar ibn al-Khattâb RA kepada jamaah yang mengerjakan sholat Tarawih di bulan Ramadhan dengan katanya: “Alangkah cantiknya bid‘ah ini!”.Tampak di sini bahwa Imam Syafi’i tidak membahas bid’ah hanya dari aspek istilah saja, tetapi beliau membahas secara umum.

Imâm al-`Izz Ibn `Abd al-Salâm menyebut bahawa Bid‘ah itu ada lima jenis, sama sebagaimana yang diputuskan para fuqaha dalam amalan perbuatan seeorang, yaitu: Wâjib, Harâm, Sunat , Makrûh, dan mubâh. Hal ini dikarenakan kalau kita ditanya tentang status hukum suatu perkara, maka di dalam islam hanya dikenal status hukum yang lima itu. Tidak ada status hukum bernama bid’ah. Maka setiap perkara (termasuk perkara yang baru, yang notabene adalah bid’ah secr bahasa) pasti dapat dimasukkan ke dalam ke lima status hukum tersebut.
Pembagian ini memperhalus 2 (dua) klasifikasi di atas menjadi 5 (lima), yaitu ke status hukum standard (haram, makruh, mubah, sunnah, wajib). Lantas di manakah status bid’ah istilah (syara’) menurut Imam Syatibi? Bid’ah dari kacamata syara’ tetap berada dalam kategori haram, termasuk di dalam klasifikasi haram. Makna bid’ah menurut Imam Syatibi telah jelas, yaitu membatasi hanya pada kacamata syar’i. Makna bid’ah menurut Imam Syafi’i rhm telah jelas pula, yaitu secara bahasa (umum). Kesalahan yang sering terjadi adalah seseorang memakai makna bid’ah menurut Imam Syatibi, untuk memandang setiap perkara bid’ah dalam makna menurut Imam Syafi’i. Akibatnya semua bid’ah (makna Imam Syafi’i) di-vonis sesat semua. Ini adalah kesalahan yang fatal.

Wallahu a'lam.(qoul ulama')